Kematian merupakan suatu rentang waktu sebelum sebuah kalimat selesai."
~ Carl G. Jung (1875 – 1961), psikiatris Swiss
~ Carl G. Jung (1875 – 1961), psikiatris Swiss

Liburan Jumat dan Sabtu yang lalu, seorang sahabat mengunjungiku dari tempat yang jauh. Berkunjung untuk berbagi cerita, pengalaman, berbagai macam perasaan - kegelisahan dan kesedihan, mungkin semacam depresi juga.
Saya merasa terharu atas kedatangan dan kunjungannya. Saya bersyukur karena sahabat itu sebenarnya dari ukuran umur, lebih tepat sebagai ibu bagi saya, meluangkan dan mengorbankan banyak hal untuk berbagi. Saya bersyukur karena dia bersedia membuka diri dan memberikan yang sempat dibagi dalam dua hari lalu yang sangat berbobot itu.
Saya terkejut, ternyata sejak pertemuan kami yang pertama lima tahun lalu, sampai beberapa hari lalu itu, kegelisahannya belum terselesaikan. Kegelisahannnya setiap hari, berkepanjangan sampai pertemuan terakhir ini, ternyata membawa kesedihan dan kepedihan mendalam bagi dirinya. Hal yang tidak sempat terucapkan. Hal yang tidak tersampaikan kepada ayahnya.
Tapi tidak sesederhana itu. Karena, ayahnya sudah meninggal sepuluh tahun lalu. Perasaan bersalah mengikutinya terus menerus, dan belum terobati. Pertemuan kami yang pertama, lima tahun lalu, saya masih ingat dia berkata kepada saya,"Saya bersedia melakukan apa pun yang Ayah minta dan punya kesempatan untuk berbicara kepada Ayah dan menyampaikan sesuatu yang sangat penting, di mana Ayah masih bisa mendengar dengan terang dan jelas."
Perasaan bersalah itu telah menghantui hidupnya. Setiap dia teringat ayahnya, pada malam harinya, tangisnya akan meledak, dan sering semakin menyesakkan karena dia sering tidak bisa mengeluarkan luapan emosinya.
* * *
Saat-saat seperti ini, apa yang bisa kita lakukan? Sangat sulit mengucapkannya. Pengalamannya sangat sulit kita sentuh dan capai kedalamannya. Walaupun kita bisa membagi pengalaman kita yang mirip, bahkan yang mengakibatkan kegelisahan yang sama, kita tetap tidak dapat membandingkannya.
Kita hanya bisa mendengarkan dengan perhatian penuh dan berusaha mengalami kepedihannya. Barangkali, kata-kata yang menjadi umum - empati, akan menjadi sesuatu slogan ketika itu. Bahkan salah satu kebajikan yang lebih tinggi daripada empati pun, misalnya compassion, kita tetap tidak bisa mengalami sendiri pengalaman orang lain.
Saya tidak mampu menyampaikan pesan apa pun untuk sekadar sesuatu yang saya kita bisa menyembuhkan pahit getir pengalamannya. Saya hanya bisa bersama di dekatnya, berada di sampingnya -- bersamanya.
* * *
Pengalaman yang sangat bernilai dua hari itulah yang menggerakkan saya menuliskan sesuatu. Menuliskan Notes ini. Memang sahabat itu berjanji pada dirinya setelah pertemuan kami itu, untuk semakin menyadari sesuatu yang lebih indah, lebih bernilai dan mulai melakukan perjalanan dengan saat itu sebagai titik balik. Tapi terlepas dari janji sahabat yang mengharukan dan menumbuhkan harapan dan spirit itu, kita bisa mendapatkan sesuatu yang sama nilainya dari pengalamannya. Saya hanya bisa termenung dan melantunkan semacam doa bukan hanya bagi sahabat itu tapi terutama bagi diri saya sendiri, bagi diri kita sendiri.
Konon ada beberapa aksi yang sangat baik dalam mengatasi kepedihan hidup yang berhubungan dengan orang yang kita cintai tapi sudah tiada. Salah satu yang biasa dibuat orang adalah membuat monumen atau benda peringatan. Ini sangat biasa untuk masalah yang menyangkut banyak orang seperti kekejaman Nazi, kengerian dan korban bom 11 September 2001 di New York City, juga semacam tanda peringatan. Ada juga cara lain, yakni program menanam pohon. Seseorang menanam pohon dan memeliharanya dan dengan rutin memanjatkan doa dan mengabadikannya seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan pohon itu. Cara ini ada kemiripan dengan tradisi Yahudi, Kaddish.
Cara-cara itu sangat dianjurkan. Tapi itu memerlukan tempat dan ketekunan luar biasa, juga karena manusia sekarang cenderung bergerak dan tidak menetap di satu tempat, maka cara yang indah dan bijak itu, bagi banyak orang cukup sulit merealisasikannya.
Ada yang membuatnya menjadi lirik dan lagu, seperti yang dilakukan Eric Clapton untuk mengenang putranya yang berusia empat tahun, Conor. Elton John juga menciptakan musik instrumental, The Man Who Never Died - Song for Guy untuk mengenang sahabatnya Guy Burchett, yang tertabrak mobil dan tergilas ketika naik sepeda.
Ada satu juga cara yang sangat dianjurkan, yakni menuliskan kegelisahan kita. Menuliskan pengalaman kita, menuliskan apa yang menjadi 'masalah' kita.
Kisah seorang sahabat yang rela membuka dirinya dengan segala kelebihan terutama kekurangannya, mengantarkan saya kepada kisah-kisah yang sudah dituliskan oleh banyak orang dalam buku-buku yang menginspirasi dan menyemangati. Mungkin tidak perlu harus tulisan panjang dan berbentuk sebuah buku, dengan menuliskannya saja, sepertinya dukacita, kegelisahan dan rasa bersalah kita sedikit demi sedikit bisa terobati dan tersembuhkan. Pengalaman dan pergumulan sendiri misalnya sudah disampaikan oleh Rabbi Harold Kushner tentang penyakit progeria yang tidak tersembuhkan pada putranya Aaron, dan seperti diagnosis dokter, meninggal pada usia empat belas tahun. Pengalaman dan pergumulannya yang sangat sulit dan sensitif itu dituliskannya yang menginspirasi jutaan manusia di bumi ini dalam When Bad Things Happen to Good People. Juga pengalaman yang tidak terlalu menyedihkan tapi sangat menyentuh dan sangat bermakna tentang ditinggalkan oleh seseorang yang terkasih, telah dituliskan oleh Henri J. M. Nouwen dalam bukunyaIn Memoriam.
Sekali lagi, baiklah, walau tidak sampai sebuah buku, tapi menuliskan suatu yang tidak terkatakan dan tidak sempat tersampaikan kepada orang yang sangat kita cintai, akan sangat menolong, menyembuhkan, mendamaikan dan indah. Mungkin sebait puisi atau tulisan lain.
Ini sepucuk surat yang sangat dahsyat oleh seorang pria berusia tiga puluhan, dalam buku Steven Farmer berjudul The Wounded Male, yang saya kutip dari GriefQuest: Reflections for Men Coping with Loss, karya Robert J. Miller dan Stephen J. Hrycyniak,
Ayah,
Saya harus mengucapkan selamat jalan kepada Ayah. Kelihatannya aneh melakukan hal ini karena Ayah telah lama meninggal. Namun, saya belum pernah mempunyai kesempatan mengucapkan selamat jalan kepada Ayah. Waktu itu, saya baru mengenal Ayah dan Ayah pergi dan meninggal.
Semua terasa tidak masuk di akal, namun saya betul-betul marah kepada Ayah karena Ayah meninggalkan saya. Saya benci menghadiri pemakaman Ayah. Ayah tidak pernah tahu betapa hebat saya menangis setelah itu, sendirian. Saya tidak dapat membiarkan orang lain melihat saya menangis karena saya harus kuat seperti Ayah.
Saya yakin, Ayah belum pernah betul-betul mengenal saya, putra Ayah sendiri. Ada saat-saat di mana saya merasa benci Ayah dan saat-saat ketika saya mengagumi Ayah, dan kadang-kadang saya bahkan mencintai Ayah.
Sekaranglah saat untuk mengucapkan selamat jalan kepada Ayag dan membiarkan Ayah pergi. Saya takut untuk melakukan hal itu, tapi saya harus melakukannya. Saya benci harus meninggalkan Ayah, tapi saya harus.
Terima kasih karena telah menjadi Ayah saya. Ayah tidak selalu sempurna, tapi Ayah memberikan saya suatu permulaan yang baik dan saya akan terus mengingatnya.
Salam penuh cinta,
Dale

"Mutlak penting demi kebebasan kita untuk memahami
bahwa orangtua kita telah melakukan yang terbaik
yang bisa mereka lakukan dengan pengertian, kesadaran, dan
pengetahuan yang mereka miliki."
0 comments:
Post a Comment